Di Tanah Seberang Surga Kami
Oleh Hartanto SA
Tahun 1977, menjadi awal kedatangan para
transmigrasi dari pulau Jawa di daerah Sumatera Barat terutama perbatasan
dengan propinsi Jambi yang dikenal dengan transmigrasi Sitiung. Wilayah ini
sebelumnya termasuk kabupataen sawahlunto Sijunjung, namun sejak mekar pada
tahun 2004 yang lalu menjadi kabupaten Dharmasraya. Rata-rata mereka berasal
dari daerah yang sama yakni Wonogiri Jawa Tengah dengan system transmigrasi
Bedol Desa. Mereka bertransmigrasi karena harus merelakan tanah dan daerahnya
untuk menjadi waduk Gajahmungkur demi kesejahteraan rakyat lainnya sebagai
sentra pengairan sawah. Warga ini banyak bermukim di daerah Sitiung 1 dan
berturut-turut sampai tahun 1990 juga terjadi transmigrasi sampai lokasi sitiung
5 dan daerah pemukiman transmigrasi Timpeh. Pada tahun 1990, pada umumnya para
transmigrasi sudah bercampur dan tidak terpusat kepada satu daerah seperti
wonogiri.
Mereka Juga Pahlawan Memaknai peringatan 10
November sebagai hari pahlawan nasional. Saya jadi teringat dengan pengorbanan
mereka para transmigran untuk merelakan tanahnya ditenggelamkan menjadi waduk
pengairan. Karena pahlawan itu bukan hanya yang gugur di medan perangmembela
bangsanya tetapi adalah orang yang berkorban dan berguna demi kepentinganorang
banyak. Pengorbanan untuk mencari peruntungan di tanah asing yang belum tahu
kondisi, menjadi hal terberat bagi siapapun. Namun mereka bersyukur setelah
setelah puluhan tahun berada di tanah seberang untuk berjuang, mereka mampu
menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Tanah yang sebelumnya sulit untuk
ditanami disebabkanketikamembuka areal lokasi transmigrasi tidak mengindahkan
kaidah pengolahan tanah yang benar sehingga unsur hara banyak yang hilang.
Namun berkat kesabaran dan keuletan setelah diberikan pengapuran pada tanah
mereka, akhirnya menjadi lahan yang subur dan menjadi sentra persawahan dan
perkebunan. Jadi tidak salah jika kita sedikit memberikan pada mereka gelar
pahlawan. Mampu beradabtasi dengan lingkungan Sebagai pendatang dengan jumlah
banyak dan memiliki adat istiadat sendiri yang berbeda dengan penduduk asli,
namun mereka patut mendapatkan nilai positif karena mampu beradaptasi tanpa
pernah terdengar keributan antar suku. Kemampuan ini menjadi kekayaan bagi
kabupaten Dharmasraya karena menjadi miniature bangsa Indonesia dengan
keragaman yang ada. Sebagai contoh walaupun mereka punya adat Jawa dalam pesta
pernikahan tetapi mereka juga memakai adat Minangkabau sebagai bukti pengakuan
“Di mana Bumi di pijak di situ langit dijunjung. Dalam hal kebersamaan
pemerintahan juga ada peran signifikan dan keadilan bagi penduduk asli dan
pendatang. Hal ini nampak dari koloborasi pimpinan kabupaten Dharmasraya yang
menduetkan Marlon Martua dengan Tugimin sebagai Bupati dan wakilnya pada periode2005-2010.
Sekarang lebih baik dari sebelumnya 35 tahun berjuang keras di lokasi
transmigrasi, dan dengan berbekal jatah dari pemerintah serta tanaman-tanaman
yang mereka tanam, akhirnya mereka menuai hasil seiring dengan semakin
berkembangnya pembangunan yang ada.Kita akan kagum dan tercengang jika pada
awal mereka bersusah payah, sekarang rumah-rumah mereka sudah permanent dan
berkeramik dengan berbagai aneka ragam perabot mewah. Anak-anak mereka sudah
melanjutkan ke perguruan tinggi negeri dan swasta. Bahkan juga sudah banyak
yang menjadi pejabat penting di pemerintahan Dharmasraya sekarang. Kegiatan
keagamaan lebih baik Pengakuan datang dari salah tokoh transmigrasi di Sitiung
yakni H. Patmo. Ketika penulis bersama team ramadhan salah satu partai dakwah
Islam berbuka di rumahnya. Beliau mengakui bahwa mengenal shalat dan mampu
melakukan haji serta beberapa kali Umrah setelah berada di daerah transmigrasi
ini. Sebelumnya ketika baru sampai di Sitiung dan di Jawa, ia belum sadar
dengan ritual kegiatan ibadah dalam Islam.
Demikian juga dengan pengakuan beberapa orang
tokoh trasmigrasi dan warga dengan kondisi keagaamaanya. Bila kita lihat
sekarang banyak masjid masjid yang berdiri mewah dan penuh dengan aktifitas
keagamaan Di Jorong Sungai Atang, pada setiap malamnya selalu ramai dengan
aktifitas pengajian dengan system giliran per kelompok RT. Materinya pun
seputar ibadah dan baca Al-Qur’an. Yang mengesankan walaupun sudah berumur
mereka aktif terlibat di dalamnya. Selain itu juga berdiri pesantren-pesantren
di daerah pemukiman transmigrasi seperti pondok pesantren Al-Barakoh padang
Bintungan dan lainnya. Di samping anak-anaknya juga melanjutkan ke perguruan
tinggi agama setelah tamat . Hal ini juga nampak di bank-bank yang
memfasilitasi jatah naik haji, banyak warga transmigran yang mendaftarkan ONH
tersebut. Hal ini menandakan bahwa peningkatan pemahaman agama yang lebih
dibandingkan sebelumnya ketika di Jawa. Saya masih teringat ketika di awal ’90
, imam masjid masih dijumpai hanya beberapa orang dengan makhroj bacaan yang
belum benar atau tidak fasih. Namun sekarang, berubah dengan seiring
kesadarannya dalam berdakwah.Di mana setiap masjid sudah dijumpai imam-imam
yang fasih dan masih muda. Peningkatan perekonomianpun juga mengiringi
kesadaran mereka untu berzakat. Di beberapa jorong tampak badan pengumpulan
zakat terutama adalah zakat mal. Tetapi bukan berarti mereka tidak punya celah.
Karena kadang-kaang pengajian masih seputar tahlil dan yasinan saja. Ha ini
disebaabkan oleh kurangnya para guru dan penyuluh agama yang kafaah dengan
ilmunya.
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/hartantoanshori/di-tanah-seberang-surga-kami_5517f1dfa333114907b66244